G20 Jadi Ajang Sinkronisasi Kebijakan Pemulihan Pandemi

Jawa Pos 10 desember halaman 3.jpg

 

NUSA DUA – Banyak harapan yang digantungkan dari Presidensi G20 Indonesia. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menuturkan, gelaran tersebut diharapkan bisa mendorong negara-negara anggota G20 untuk melakukan sinkronisasi kebijakan, terutama terkait pemulihan akibat pandemi Covid-19.

‘’Kelompok negara ini (G20) yang (menyumbang) 80 persen dari PDB global ini dapat berdiskusi dan menyepakati arah pemulihan global,’’ ujarnya pada Finance and Central Bank Deputies Meeting (FCBD) di Bali, kemarin.

G20 secara kolektif menjadi representasi dari perekonomian dunia dan memiliki posisi sangat strategis. Negara-negara yang tergabung di G20 menguasai 85 persen PDB dunia, 80 persen investasi global, 75 persen perdagangan dunia, dan 66 persen populasi dunia.

Ani (sapaan Sri Mulyani) mengakui, kompleksitas yang dihadapi dengan situasi pemulihan yang tidak merata menyebabkan setiap negara akan memprioritaskan kesulitan di dalam negeri masing-masing. Dia menyebut beberapa poin yang patut dicermati mulai dari pandemi Covid-19, tekanan inflasi, normalisasi kebijakan bank sentral, transformasi digital, hingga perubahan iklim.

Kondisi itu membuat pentingnya G20 untuk merumuskan kebijakan yang sinkron. ‘’Beberapa negara harus mulai mengetatkan kebijakan mereka, yang lain masih perlu mendukung dan kehilangan instrument kebijakannya,’’ imbuhnya.

Sementara itu Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo menuturkan negara maju sudah mulai masuk pada normalisasi ekonomi mereka setelah sebelumnya terdampak Pandemi Covid-19. Sementara negara berkembang berupaya memperbaiki atau memulihkan perekonomiannya.

"Indonesia belum berfikir normalisasi moneter," kata dia. Perry menjelaskan Indonesia masih berfokus pada pemulihan ekonomi dahulu. Dia menegaskan Indonesia harus mampu melindungi diri sendiri, supaya tidak terganggu normalisasi ekonomi di negara-negara maju.

Untuk masuk dalam tahapan normalisasi ekonomi, Perry mengatakan banyak aspek yang perlu ditinjau. Diantaranya adalah kondisi inflasi di Indonesia harus baik terlebih dahulu. Kemudian juga perlu koordinasi kebijakan fiskal dan moneter yang baik.

Diantara arah kebijakan moneter yang disiapkan selama masa pemulihan ekonomi adalah menjaga suku bunga tetap rendah. Kemudian mengurangi kelebihan likuiditas serta menjaga stabilitas nilai tukar.

Perry menyampaikan ketika pandemi terjadi, ada beberapa kebijakan moneter dan fiskal yang diambil pemerintah. Kebijakan ini diambil karena menghadapi situasi yang tidak normal. Diantaranya selama pandemi penerapan aspek prudensial diperlonggar. "Normalisasi aspek prudensial ini harus hati-hati," katanya.

Dia menambahkan Indonesia sebagai Presidensi G20 berupaya membangun kerjasama global. Tujuannya untuk bersama-sama pulih dari dampak pandemi Covid-19.

Tidak hanya ditekankan soal strategi exit policy atau kebijakan keluar dari dampak pandemi. Tetapi juga reformasi struktural, infrastruktur, produktivitas, dan digitalisasi sistem pembayaran dan keuangan. Selain itu juga membahas cara mengatasi luka memar atau scarring effect pada dunia industri. Secara umum dia menegaskan dengan strategi exit yang tepat, secara bersama-sama negara bisa keluar dari dampak pandemi secara berkelanjutan.

Sebelum puncak KTT G20, ada dua jalur agenda utama yang dibahas di forum tersebut. Yakni agenda finance track dan sherpa track.

Untuk finance track, menteri keuangan hingga gubernur bank sentral masing-masing negara anggota G20 akan terlibat membahas isu tersebut. Sementara sherpa track yang membicarakan isu-isu ekonomi non keuangan, seperti energi, pembangunan, pariwisata, ekonomi digital, pendidikan, tenaga kerja, pertanian, perdagangan, investasi, industri, kesehatan, anti korupsi, lingkungan, dan perubahan iklim. (dee/wan)