Ketika Nakes Dibungkam, Sastra Harus Berbicara. Merekam Pandemi dengan Sastra Lewat Kacamata Nakes

KUMCER TENTANG PANDEMI

 

PANDEMI Covid-19 melahirkan ketimpangan sosial yang tidak sepele. Tenaga kesehatan (nakes), yang seharusnya memiliki expert power yang berasal dari pengetahuan, pengalaman, dan keterampilan--yang seharusnya dapat digunakannya untuk menyuruh atau memerintah orang terkait anjuran kesehatan, justru tak diacuhkan, bahkan dituduh mengkhianati sumpah profesi.

Hal itu dikemukakan cerpenis Adi Zamzam saat mengulas buku kumpulan cerpen "Kau Tuduh Aku Meng-Covid-kanmu" karya Bon Yosi saat launching dan bedah buku tersebut secara virtual, Sabtu (17/9) malam.

"Karya ini memiliki celah untuk ditandai sebagai karya dengan motif "apologi", tapi yang tidak boleh dilewatkan adalah bahwa Bon Yosi menemukan momentumnya di situ. Bon Yosi yang seorang dokter, yang kesehariannya senantiasa dikepung fakta-fakta perihal dunia medis dengan segala suka dukanya, berhasil mengabadikan perlawanannya dalam bentuk yang lebih elegan," katanya.

Sebagaimana kesadaran Seno Gumira Ajidarma yang menyadari bahwa tak ada yang bisa memanipulasi kebenaran dalam sastra sehingga melahirkan "Ketika Jurnalisme Dibungkam, Sastra Harus Bicara", Bon Yosi juga menemukan momentumnya untuk berkata "Ketika Nakes Dibungkam/Dilumpuhkan, Sastra Harus Bicara".

Bon Yosi adalah nama pena dari dr Rosa Indrianto, seorang dokter yang bekerja di salah satu rumah sakit di Purwokerto. Selama pandemi Covid-19, banyak sekali pengalaman dan kejadian yang dialaminya sebagai nakes. Pengalaman-pengalaman itu ia tuangkan ke dalam sejumlah cerpen dan lahirlah buku kumcer "Kau Tuduh Aku Meng-Covid-kanmu" ini.

Cerpen “Kau Tuduh Aku Meng-Covid-kanmu” bercerita tentang tim nakes yang dituduh meng-covid-kan pasien. Kemudian cerpen “Di Balik Hazmat, Aku Menangis” mengisahkan membludaknya pasien Covid-19 yang mengakibatkan nakes terpapar virus tersebut.

Lalu cerpen “Kemana Perginya Udin?” bercerita tentang seorang anak yatim piatu yang menjadi relawan Covid-19, orang tuanya meninggal akibat korona. Ada pula cerpen “Akhir Kisah Sepucuk Surat” bercerita tentang oknum nakes yang nekat membuat surat keterangan bebas Covid-19 palsu.

Di cerpen “Jaman Edan”, Bon Yosi menuangkan kegeramannya terhadap pejabat yang korupsi bantuan Covid-19. Sedangkan cerpen “Menunggu Oksigen” mengisahkan kelangkaan oksigen saat pandemi korona.

Bon Yosi lahir di Jakarta, 29 Agustus 1974. Ia adalah seorang dokter yang sangat menggemari dunia membaca dan menulis. Baginya, menulis adalah passion. Menuturkan kisah-kisah adalah kegemarannnya, karena baginya selalu ada hikmah di setiap kisah.

"Saya berharap, coretan kisah-kisah pendek ini akan menghibur seluruh pembaca di waktu-waktu senggang. Semoga buku ini mudah-mudahan dapat memberi secercah ide-ide penuh kebaikan dan harapan, atas segala musibah yang menimpa kita semua," kata Yosi. (Ryan Rachman)