Data Satgas Covid-19 Nasional "Ngaco"

Juru Bicara Satgas Penanganan Covid-19 Kota Depok, Dadang Wihana/ist

 

DEPOK - Pemerintah Kota Depok, tidak perlu risau ataupun bermuram durja. Satgas Penanganan Covid-19 Nasional menyebut Kota Depok juara kasus aktif Covid-19, terbantahkan dengan data-data Satgas Penanganan Covid-19 Kota Depok. Belum lagi, Pakar Epidemologi sangat meragukan data yang dikeluarkan Satgas Covid-19 Nasional.

Juru Bicara Satgas Penanganan Covid-19 Kota Depok, Dadang Wihana mengatakan, terdapat perbedaan data kasus konfirmasi aktif Covid-19 antara pusat dengan Depok. Selisihnya sebanyak 17.413 kasus.

“Kota Depok saat ini memiliki 9.518 kasus aktif. Sedangkan data pusat mencatat, 26.932 kasus aktif ada di Depok. Jadi selisihnya 17.413 kasus,” ujarnya kepada Harian Radar Depok, Jumat (6/8).

Selaras dengan ini, angka kasus kesembuhan juga terjadi kesenjangan. Satgas Covid-19 pusat merilis 57.231 warga Depok yang mengalami kesembuhan dari Covid-19. Sementara, Depok melaporkan sudah ada 81.198 pasien Covid-19 yang bebas isolasi.

Tak hanya disitu, ketimpangan data turut ditemukan pada angka kematian terkonfirmasi Covid-19. Pusat mencatat sebanyak 1.169 jenazah akibat Covid-19, sedangkan Depok sudah mencatat 1.792 kasus. Menurut Dadang, Satgas Covid-19 Pusat minim reaktif terhadap selisih data yang makin meninggi. “Satgas Pusat kurang peka terhadap gap data yang semakin tinggi,” tutur Dadang.

Kondisi tersebut, lanjut Dadang, bukan hanya terjadi kali ini saja. Dia turut menyesalkan kesenjangan data antara Pusat dengan Daerah. “Kondisi ini (kesenjangan data) sudah saya sampaikan berkali-kali kepada Satgas Pusat, bahkan dari tahun 2020,” bebernya.

Pemerintah saat ini, secara serentak tengah membenahi keterlambatan input data dari fasilitas kesehatan. Supaya, data yang diumumkan setiap harinya oleh Satgas Penanganan Covid-19 Kota Depok makin mendekati kondisi di lapangan. Basis data, bagaimana pun, adalah kunci dari pengambilan kebijakan yang tepat untuk merespons tren perkembangan wabah. “Ayo laksanakan rekonsiliasi data pusat dengan daerah, agar ada kesesuaian data. Karena data digunakan untuk perhitungan zonasi daerah dan kebijakan,” tegasnya.

Ahli Epidemologi Universitas Indonesia (UI), Tri Yunis Miko Wahyono mengaku, meragukan data yang dikeluarkan Satgas Covid-19 Nasional tersebut.

Tri Yunis mengatakan, Pemerintah tidak bisa mengeluarkan data secepat itu lantaran kemampuan tes dan tracing di tiap daerah, berbeda – beda. “Kemampuan tracing daerah kan beda–beda, gimana bisa dibandingkan kalau kemampuan tracing juga beda,” tutur Tri kepada Harian Radar Depok, Jumat (6/8).

Dia mengungkapkan, saat ini di Indonesia sangat sulit untuk membandingkan jumlah kasus. Sebab, dalam pantauannya, banyak daerah yang masih belum melakukan tracing dengan baik atau jauh dari kata maksimal.

“Bisa jadi Depok tracingnya lebih banyak dan cepat, sedangkan daerah lain tracingnya lambat, ya sudah pasti lah angka kasus konfirmasi aktifnya Depok lebih tinggi dibanding daerah yang tracingnya lambat,” ujarnya.

Dia menjelaskan, jika pemerintah masih menerapkan skema perhitungan jumlah kasus per 100 populasi tiap minggu di seluruh daerah, hal tersebut tidak akan efektif lantaran kemampuan tracing daerah yang berbeda – beda. “Kalau kemampuan tes beda, gimana mau menentukannya,” terangnya.

Menurutnya, statmen pemerintah yang menyatakan Depok sebagai penyumbang kasus konfirmasi aktif tertinggi tidak fair. Sebab, setiap daerah memiliki ketersediaan rumah sakit yang berbeda – beda. “Pemerintah terlalu cepat membaca datanya. Karena, data yang dibaca belum tentu sebanding dengan yang lain,” bebernya.

Tri Yunis mengaku, dia tidak percaya lagi dengan data yang dikeluarkan pemerintah baik daerah maupun pusat. Dia menganggap pemerintah belum serius untuk menghitung kasus konfirmasi aktif di Indonesia. “Saya sanksi dengan masing–masing survelance yang dilakukan kabupaten maupun kota. Pemerintah gak ada niat untuk menghitung kasus di Indonesai,” imbuhnya.

Ketidak percayaan Tri Yunis bukan tanpa alasan. Dia menuturkan jika Pemerintah tidak serius dalam mengantisipasi lonjakan Covid-19 ini. Lantaran di matanya, Pemerintah tidak mempersiapkan diri untuk kehadiran varian Delta dan ledakan yang diakibatkannya.

“Sama dengan awal Juli sampai sekarang. Pertanyaan saya, apa Pemerintah sudah memperkirakan jika Juli awal rumah sakit akan penuh. Kalau tidak itu jahat namanya. Sekarang kita lihat, oksiegen aja gak disediakan. Saya udah teriak dari April supaya Indonesia jangan kaya India. Tapi yang terjadi malah bener ada ledakan, itu sama aja kaya membiarkan wabah ini membesar,” pungkasnya.

Sebelumnya, Juru Bicara Pemerintah Penanganan Covid-19, Wiku Adisasmito menyebut, dari 131 kabupaten/kota tersebut masih didominasi dari pulai Jawa dan Bali. Artinya penurunan kasus positif harus terus dipertahankan. Tetapi, kasus aktif yang ada juga harus ditekan. Hal itu tentunya memerlukan upaya besar agar kesmbuhan juga semakin tinggi.

Menurutnya, sebanyak 83 dari 131 kabupaten/kota dengan kasus aktif di atas 1.000 berasal dari pulau Jawa dan Bali.

“Bisa dilihat, Jawa Barat menjadi penyumbang kabupaten/kota terbanyak yang memiliki kasus aktif tertinggi, yaitu 11 kabupaten/kota. Lalu disusul Banten dan Jawa Timur, masing-masing enam kabupaten/kota, dan DIY lima kab/kota,” ungkap Wiku.

Sementara itu, Kota Depok menjadi daerah dengan jumlah kasus aktif tertinggi di Indonesia. Kemudian disusul Kota Bekasi, Kabupaten Bantul, dan Kota Tangerang Selatan.

“Kasus aktif tertinggi adalah Kota Depok dengan jumlah 27.389 kasus aktif, Kota Bekasi 22.674 kasus aktif, Kota Bandung 15.151 kasus aktif, Kab Bantul 14.760 kasus aktif dan Kota Tangerang Selatan 11.180 kasus aktif,” papar Wiku.

Wiku mengungkapkan bahwa lebih dari setengah provinsi di Indonesia memiliki kabupaten/kota dengan kasus aktif di atas 2.300 kasus. Padahal pada akhir bulan Mei lalu jumlah kasus di kabupaten/kota ini hanya berkisar antara 400 sampai dengan 1000 kasus saja.

“Seperti yang terlihat di layar bahwa di Pulau Sumatera terdapat 7 kabupaten/kota. Dan di Pulau Kalimantan terdapat 4 kabupaten/kota. Sulawesi ada 2 kab/kota. Papua ada 2 kabupaten/kota. Serta Bali, NTT dan Maluku dengan masing-masing 1 kabupaten/kota yang masuk 50 besar penyumbang kasus aktif tertinggi,” ucapnya.(daf)