Mobil ambulan hingga pikap silih berganti membawa peti jenazah. Mobil yang ditunggangi sekelompok orang berbaju hazmat itu berhenti di depan Gedung Forensik RSUD Sardjito, Sleman, kemarin (4/7).
Namun, di kejauhan tampak nglangut pria paruh baya yang menunggu pemulasaran jenazah ibunya. Dia adalah Rahmat Bintara, 47, warga Bantul.
Hari ini menjadi kabar duka bagi Rahmat Bintara, warga Pringgolayan, Banguntapan, Bantul itu. Sebab, ibunya yang berusia 77 meninggal dunia, setelah dinyatakan Covid-19.
"Meninggal setengah 10 malam (3/7). Sampai pukul 10.00 hari ini, pemusalaran belum juga dilakukan," ungkap Rakhmat di temui di lokasi, kemarin (4/7).
Sejak pukul 05.30, dia menanti jenazah ibunya. Dia menunggu panggilan dari petugas kesehatan, jika ibunya sudah selesai dilakukan pemulasaraan. Namun karena banyaknya pasien meninggal di RS tersebut, dia harus mengantri. Karena mendapatkan nomor antrian 36. "Ini cukup lama. Sudah jam segini baru belasan jenazah yang keluar," ungkap Rahmat, yang mana saat itu sudah menginjak pukul 11.00. Sementara, dia mendapat informasi awal dari RS, jenazah mendapat jadwal pemulasaraan pukul 05.00.
Dengan suasana duka, dia berangkat tergesa-gesa dari kediamannya. Tak sabar menjemput jenazah ibunya. Menaiki motor seorang diri. Bergantian dengan istri dan anaknya yang semalaman menjaga jenazah ibunya.
Perasaannya campur aduk. Peti mati belum siap. Ambulan untuk menjemput jenazah ibunya tak kunjung dapat. Karena mencari peti mati dimasa pandemi ini sedikit susah. Yang tersisa hanya peti mati kalangan menengah atas. Namun, sekitar pukul 09.00 peti sudah didapatkan dan langsung diantarkan ke RS. Lengkap bersama ambulan. "Tapi sampai sekarang, jenazah masih di ruang UGD. Belum dipindahkan," katanya. Alasan belum dipindah lantaran masih menunggu dokter forensik untuk pemeriksaan jenazah lebih lanjut. Di samping itu ruang forensik masih penuh.
Dia menceritakan, pada Jumat (2/7) malam, ibunya mengeluhkan pegal di bagian pundak. Lalu dia mengkompreskan air hangat di badan ibunya itu. Pada Sabtu siang sekitar pukul 12.00, ibunya mengalami keringat dingin dan dilarikan ke RS PKU Muhammadiyah Kota. Di sana sempat diperiksa.
Berdasarkan informasi dokter saat itu, ibunya menderita infeksi paru-paru. Namun saat dilakukan swab antigen, hasilnya negatif. Karena kewalahan, pihak RS merujuk agar ibunya dibawa ke RSUP Sardjito untuk penanganan lebih lanjut. Itu langsung ia lakukan. "Ibunya, di periksa. Sekitar pukul 14.00, informasi dari dokter ibu saya dinyatakan korona," kata Rahmat. Berikutnya dilakukan perawatan di UGD dan telah meninggal dunia. "Ibu nggak pernah keluar rumah dan sudah divaksin dua kali, terakhir bulan lalu," katanya.
Jarak 1,5 meter di Selatan Rahmat, juga tampak gadis belia sedang merunduk dengan mata berkaca-kaca. Dia adalah Ratna, 25, warga Ngaglik. Ayahnya meninggal dunia pada Minggu pagi (4/7) di ruang IGD.
Setelah ayahnya dinyatakan covid pada Sabtu pukul 13.00. Ayahnya berkomorbid memiliki penyakit jantung dan asam urat tinggi. Sebelum meninggal, ayahnya mengalami sesak nafas. Kala itu, dia menanyakan oksigen kepada petugas kesehatan karena menurutnya ayahnya membutuhkan oksigen. "Tapi saat itu katanya oksigen habis," katanya. Dia dan keluarganya hanya bisa pasrah. Dia berharap, kejadian ini dapat meringankan dosa-dosa ayahnya. "Sudah menjadi garisnya," tandasnya.