Wanita Penjual Gorengan Ini Bertahan Hidup di Tengah Pandemi, Ini Suka Dukanya

Romlah (55), penjual gorengan saat menawarkan jajanannya di salah satu kampung di wilayah Kecamatan Semarang Tengah, Kota Semarang, Rabu (28/10).

 

SEMARANG, Suara Merdeka- Pagi itu, Matahari belum terlalu penuh menampakkan sinarnya, Romlah (55), seorang penjual gorengan sudah bersiap menjajakan jajannya. Aneka jajan gorengan seperti lunpia, mendoan, tahu isi, pisang goreng, lapis, dan jenis gorengan lainnya ia jual. Ya, itulah sepenggal kisah aktifitas sehari-hari wanita paruh baya tetap bertahan hidup di tengah pandemi Covid-19.

Dengan memakai sandal jepit wanita single parent (orang tua tunggal) berjalan kaki, menyusuri jalan beraspal berkeliling dari kampung satu ke kampung lainnya di wilayah Kecamatan Semarang Tengah dan Kecamatan Semarang Selatan, Kota Semarang. Beberapa kampung maupun jalan yang kerap ia sambangi misalnya, Kampung Ngemplak, Kampung Magersari.

Kemudian Kampung Yudistira, Nakula, Sadewa, Bima I, Bima II, dan sejumlah kampung lainnya di Kecamatan Semarang Tengah dan Kecamatan Semarang Selatan. Wanita yang akrab disapa Mak Romlah itu bercerita, mengadu nasib di Ibu Kota Provinsi Jawa Tengah sejak puluhan tahun silam.

''Saya lupa persis mulai masuk di Kota Semarang. Tapi saya berjualan gorengan di Kota Semarang sudah 37 tahun untuk membantu menghidupi satu anak dan cucu saya,'' kata Romlah mengawali ceritanya, Rabu (28/10).

Meski raut wajahnya jelas tampak lelah, Romlah selalu berusaha riang gembira berjualan dari rumah ke rumah. Bahkan gayanya cukup nyentrik meski sudah berusia setengah Abad lebih. Tapi, siapa sangka dibalik sikap keceriannya itu, Romlah memiliki kisah perjuangan hidup yang getir.

Romlah melanjutkan bercerita, selepas kedua orang tuanya meninggal dunia setelah peristiwa meletusnya Gunung Merapi pada 2010 silam. Setelah kedua orang tuanya meninggal, ia harus menanggung beban hidupnya sendirian di kampung halaman. Wanita yang hanya lulusan sekolah dasar itu terpaksa bekerja serabutan untuk mencukupi kebutuhannya sehari-hari. Ketika menginjak usia 16 tahun, Romlah bertemu dengan seorang laki-laki yang kelak menjadi suaminya.

Hidupi Anak dan Cucu

Dengan memiliki pasangan hidup tersebut, beban hidup Mak Romlah sedikit berkurang lantaran kebutuhannya ditanggung bersama-sama dengan sang suami, meski hanya bekerja sebagai buruh kapal. Namun, raut wajah Romlah mendadak berubah saat berusaha melanjutkan ceritanya.

Dengan mata berkaca-kaca serta menahan haru, Mak Romlah mengenang kisahnya ketika sang suami akhirnya pergi meninggalkannya tanpa alasan yang jelas saat dirinya sedang mengandung buah hatinya.

"Saat saya hamil, suami pergi tanpa alasan. Dia bekerja jadi buruh kapal. Akhirnya saya terpaksa melahirkan tanpa didampingi suami. Waktu itu di kampung dibantu bidan dan tetangga," kata Romlah sembari meneteskan air karena tak kuasa menceritakan kisahnya tersebut.

Situasi berubah, secara tidak langsung Romlah menyandang single parent. Kebutuhan hidup semakin bertambah sejak kelahiran buah hatinya, ia pun harus memutar otak untuk membesarkan anak semata wayangnya. Akhirnya, Romlah memutuskan mengadu nasib ke Jakarta hingga Kalimantan.

"Di Jakarta saya bekerja sebagai pembantu rumah tangga, pernah jaga toko, jaga orang tua sakit. Saya kerja apa saja mau karena memang orang tidak mampu. Pernah kerja di Serang, Banten, Malang, Kalimantan dan sekarang di Kota Semarang," ujarnya.

Selama melalang buana bekerja di berbagai daerah itu, suatu hari Mak Romlah mendengar kabar bahwa suaminya mengalami peristiwa tragis saat sedang bekerja di kapal. Meski sudah berpisah dengan suaminya karena menikah lagi, hati Mak Romlah tetap merasa sedih tatkala mendengar kabar pria yang masih berstatus sebagai suaminya itu meninggal dunia karena tenggelam.

"Setelah berpisah, sebenarnya suami sempat menikah lagi. Waktu bekerja di kapal ada kecelakaan, dia meninggal dunia karena tenggelam," ujarnya.

Di usianya yang tak lagi muda, ditambah dengan merasakan manis pahitnya kehidupan tersebut, akhirnya, Mak Romlah memilih bekerja di Kota Semarang sebagai penjual gorengan. Sudah hampir 35 tahun, pekerjaan itu dia lakoni demi menanggung hidup satu anaknya dan dua cucunya yang hidup di Desa Rambeanak, Kabupaten Magelang.

Memanajemen Keuangan

Setiap hari, ia mendapatkan uang rata-rata mulai Rp 20 ribu sampai Rp 40 ribu. Uang tersebut ia gunakan untuk biaya hidup sehari-hari dan sebagian ditabung untuk membayar rumah kontrakannya di Kampung Magersari, Kota Semarang.

"Setiap hari saya berusaha menabung Rp 5.000. Pernah saat lagi sepi hanya mendapat Rp15 ribu. Kalau lagi ramai bisa mencapai Rp 40 ribu. Sebagian saya gunakan untuk membeli makan dan untuk hidup anak dan dua cucu saya di Magelang,'' ungkapnya.

Meski hidup di tengah kondisi yang serba terbatas itu, ia mengaku sudah terbiasa berjuang hidup sendiri, karena tidak ingin merepotkan orang lain. Apalagi, menyusahkan adik kandungnya yang sudah puluhan tahun tak bertemu dengannya karena sudah hidup berkeluarga di Surakarta.

"Makan setiap hari paling nasi, sayur aja sama teh. Biar cukup. Saya pilih jajan yang murah agar uangnya cukup. Saya harus menjalani kehidupan ini. Tidak ingin mengeluh, apalagi berputus asa,'' imbuhnya.

Salah satu pelanggan jajanan gorengan Romlah, Riska Farasonalia (33) mengaku salut dengan perjuangan yang dijalani Romlah. sebagai generasi muda, ia ingin mengajak kepada semua masyarakat agar tidak mudah mengeluh apalagi berputus asa, khususnya di tengah pandemi Covid-19.

''Melihat kisah bu Romlah ini, saya semakin yakin bahwa setiap persoalan pasti ada jalan keluarnya. Saya mengajak generasi muda untuk mencontoh tauladan yang diberikan bu Romlah,'' katanya. (*)