Pengembangan Usaha Pangan Masyarakat (PUPM) menjadi salah satu solusi menjaga ketahanan pangan selama pandemi Covid-19.
Program tersebut bahkan sudah dijalankan Dinas Pertanian, Pangan, dan Perikanan Sleman sebelum masa pandemi.
PUPM menyasar gabungan kelompok tani (gapoktan). Sejak digulirkan pada 2016, sejauh ini ada 12 gapoktan penerima program PUPM.
Bantuan PUPM berupa modal dan dana operasional. Modal itu untuk membeli gabah petani. Gabah lantas diolah jadi beras oleh gapoktan lalu dijual ke Toko Mitra Tani Indonesia (TMTI).
Beras dijual murah karena adanya bantuan operasional terse-but. “Intinya, progam PUPM untuk membantu masyarakat kurang mampu agar bisa beli beras lebih murah dibanding harga pasaran,” jelas Kabid Ketahanan Pangan Rudi Suryanto.
Saat ini harga beras TMTI Rp 8.800 per kilogram. Dengan kualitas mendekati beras medium. “Jenisnya sama, tapi patahannya mungkin lebih banyak. Beras yang dijual TMTI harus baru dan fresh. Sehingga diberi label BERAS SEGAR,” sambungnya.
TMTI merupakan toko penjual beras hasil program PUPM yang bekerja sama dengan gapoktan terkait. Sejak 2016 sampai saat ini sudah ada 38 TMTI se-Sleman.
Terkait pemulihan ekonomi akibat Covid-19, konsep ketahanan pangan difokuskan sejak tingkat keluarga. Melalui program Pekarangan Pangan Lestari (P2L). Program ini juga sudah berjalan sebelum pandemi Covid-19. “Kami mendorong ibu-ibu kelompok wanita tani memanfaatkan pekarangan rumah untuk ditanami sayuran kon-sumsi. Kebanyakan tomat, kangkung, terung, dan cabai,” ungkap Rudi.
Seiring berjalannya waktu, program P2L dikembangkan di kebun. Komoditasnya pun tak hanya sayuran. Ada juga ikan dan ayam petelur. Hal ini bertujuan memenuhi kebutuhan gizi masyarakat secara mandiri. “Program ini sangat pas dengan kondisi pandemi saat ini. Sehingga bisa jadi acuan,” katanya.
Terpisah, Kepala Dinas Pertanian, Pangan, dan Perikanan Heru Saptono memastikan ketahanan pangan Sleman selama masa pandemi Covid-19 aman. Terlebih, Pemerintah Provinsi DIJ juga menggulirkan program ketahanan pangan melalui lumbung mataraman.
Menurut Heru, jargon “mangan apa sing ditandur, nandur apa sing dipang-an (makan apa yang ditanam, menanam apa yang dimakan)” menunjukkan kebutuhan pangan bisa dicukupi dari tingkat keluarga. “Jika keluarga tercukupi, ketahanan pangan tingkat masyarakat dan kabupaten akan terwujud,” ungkapnya.
Buktinya, lanjut Heru, wilayah Sleman yang hanya 18 persen dari DIJ mampu menyumbang 40 persen kebutuhan pangan di provinsi. Sedangkan yang 60 persen untuk mencukupi kebutuhan pangan kabupaten. (*/eno/yog)
Sumber : Harian Radar Jogja, Edisi Jumat 13 November 2020, Halaman 3