FEATURE: Petani, Kartu Tani dan Pandemi

Area persawahan di Sleman

 
Ngadimin, 50, warga Duri, Tirtomartani, Kalasan baru saja membawa bibit cabai dari rumahnya. Ia mencoba peruntungan dengan menanam cabai di masa pandemi Covid-19. Berikut laporan Wartawan Harian Jogja Abdul Hamid Razak.
Kaos merah yang dikenakan Ngadimin sudah tak cerah lagi. Topi lusuh berwarna kecoklatan pun masih bertengger di kepalanya. Turun dari sepeda motor buntutnya, wajah Ngadimin tampak bersemangat. Berharap apa yang dia tanam saat ini bisa menghasilkan keuntungan untuk menghidupi keluarganya.
"Ini mau tanam cabai. Ini jenis rawit cempluk, bagus ini," kata Ngadimin sambil memperlihatkan bibit cabainya, saat disapa Harian Jogja, akhir pekan lalu.
Jenis cabai itu, kata Ngadimin, tahan terhadap hama, sekuat dirinya bertahan hidup dalam menghadapi situasi pandemi Covid-19. Karena masih kemarau, ia memilih menanam cabai. Ngadimin tak berani menanam padi. Ia khawatir padi yang ditanam nanti kekurangan air. Sebab aliran air untuk wilayah pertanian di Kalasan dibagi oleh pihak pengairan.
"Airnya dibagi seminggu sekali. Musim tanam tahun lalu, saya pernah rugi karena padinya kurang air. Makanya sekarang nggak berani tanam padi. Kalau yang sana itu terlalu berani (tanam padi)," kata dia sambil menunjuk sawah tetangganya yang menanam padi.
Ngadimin bukan pemilik lahan pertanian itu. Ia hanya buruh tani yang menyewa sawah untuk mencari penghasilan. Lahan yang ia sewa seluas 3.000 meter persegi. Namun ia enggan menyebut biaya sewanya. "Yang penting bertani itu untung, mesti sedikit. Panen padi kemarin saya jual semua Rp5 juta," kata dia sedikit bangga.
Kini, ia mengadu peruntungan di musim tanam, di tengah pandemi Covid-19 melanda. Tanaman cabai rawit yang ia tanam diharapkan bisa dipanen tiga bulan ke depan. Ia bekerja sendiri karena tak kuat membayar upah buruh tanam. "Saya (bajak tanah) pakai mesin, ongkosnya Rp750.000. Kalau bayar upah orang per orang Rp350.000 kemahalan, nggak kuat bayarnya," katanya.
Untuk 3000 meter persegi, setidaknya Ngadimin membutuhkan tiga kilogram benih cabai. Untuk membelinya, kata dia, tidak cukup dengan dana Rp1 juta. Beruntung, Ngadimin mampu budidaya benih cabai. Hasil benih yang ia budidaya tentunya bisa menekan biaya produksi yang dikeluarkan.
Bagi Ngadimin, menjadi petani saat ini bukan tanpa tantangan. Selain harus mematuhi protokol kesehatan 3M (memakai masker, mencuci tangan dengan sabun dan menjaga jarak) agar terhindar dari virus Corona, banyak tantangan yang dihadapi. Kemarau panjang, misalnya membuat petani harus pandai-pandai mengatur strategi. Kalau salah, yang didapat bukan untung tapi buntung, katanya.
Saat ini, kata Anggota Kelompok Tani Makmur Somudaran ini, petani dihadapkan pada masalah kelangkaan pupuk. Pupuk bersubsidi yang biasanya dibutuhkan saat musim tanam seperti hilang di pasaran. Penyebabnya, kata Ngadimin karena pendistribusian pupuk bersubsidi harus menggunakan kartu tani.
"Padahal saya belum dapat kartu tani. Mau dapat pupuk subsidi gimana? Kami kesulitan dapat pupuk. Akhirnya mau tidak mau harus beli yang tidak subsidi," ujar Ngadimin kesal.
Kekesalan Ngadimin bukan tanpa alasan. Dia khawatir tanaman cabai yang ditanam kekurangan pupuk. Kalau pupuk kurang hasilnya bisa tidak memuaskan. Sebab, saat awal musim tanam para petani tentu membutuhkan pupuk. Terutama di 10 hari pertama sejak benih ditanam. Kalau proses pemupukan kurang atau tidak pas, kata Ngadimin, hasilnya bisa dipastikan kurang bagus.
"Kalau 10 hari pertama tandur, petani sudah main pupuk, kalau kelewat (10 hari pertama kurang pupuk) hasilnya (panen) kurang bagus," katanya.
Untuk memenuhi kebutuhan pupuk di awal musim tanam kali ini, Ngadimin pun merogoh dana sekitar Rp150.000 untuk membeli 25 kg pupuk non subsidi. Dana itu ia pinjam dulu ke saudara, nanti dikembalikan saat panen raya tiba. "Ya mau bagaimana lagi, kalau nggak beli nggak bisa tanam. Kalau nggak tanam nggak bisa bangkit, kalau nggak bangkit mana punya uang. Sementara hidup harus terus berjalan," katanya.
Ngadimin hanya salah satu potret petani di Sleman yang berjuang di tengah pandemi Covid-19. Meskipun ia mengadapi beragam persoalan mulai masalah air dimusim kemarau hingga persoalan distribusi pupuk, Ngadimin tetap bersemangat untuk bertani.
Masalah kartu tani sebenarnya disuarakan oleh Ketua Forum Petani Kalasan, Sleman, Janu Riyanto. Dia menilai jika distribusi pupuk dengan kartu tani tidak praktis. Apalagi distribusi pupuk dengan kartu tani diatur sesuai luas lahan di mana setiap satu hektare mendapatkan 125 kg pupuk. "Artinya, setiap 1.000 meter lahan hanya diberi 12,5 kilogram pupuk. Apakah petani bisa menanam seribu meter hanya dengan urea 12,5 kg dari tanam sampai panen?" tanya dia.
Sementara Kabid Penyuluhan Dinas Pertanian, Pangan, dan Perikanan (DP3) Sleman Nawangwulan mengakui jika pupuk bersubsidi hanya bisa dibeli dengan menggunakan kartu tani. Itu sesuai dengan program pemerintah yang melakukan distribusi pupuk bersubsidi agar tepat sasaran.
"Kalau saat ini petani kesulitan mendapatkan pupuk bersubsidi, kami mohon maaf. Kami sedang melakukan pendataan dan reaktivasi lagi pemegang kartu tani yang disebar sejak 2017 lalu," kata Nawang saat dibubungi Harian Jogja.
Pendataan ulang tersebut dilakukan untuk melihat kondisi real pemegang kartu tani. Alasannya, selama tiga tahun terkahir tidak semua pemegang kartu tani mengaktivasi kartu tersebut. "Kebijakan baru ini tentu membutuhkan waktu dan penyesuaian. Kalau seluruh data sudah lengkap, mudah-mudahan distribusi pupuk melalui kartu tani ini bisa efektif dan optimal dilakukan mulai tahun depan," katanya. ([email protected])